Blog
Ketika Aspirasi Rakyat Ditendang Balik oleh Tirani yang Dikawal Aparat

Ketika Aspirasi Rakyat Ditendang Balik oleh Tirani yang Dikawal Aparat

Jalur demokrasi buntu, suara rakyat dipasung, aparat brutal dilegalkan, presiden bungkam. Kalau semua pintu ditutup, jalanan jadi jawabannya.

August 31, 20254 min read

Aku di sini berteriak, dari lapangan, dari pikiran, dari hati: #BubarkanDPR! Bukan karena benci negara ini, tapi karena DPR---yang harusnya jadi wakil rakyat---bahkan ga malu ajukan tunjangan rumah 50 juta rupiah per bulan, di saat jutaan rakyat kesulitan bayar sekolah dan makan.

Kami semua ga tiba-tiba demo, kami semua ga tiba-tiba marah. Semua ini terjadi karena kondisi yang makin tak manusiawi dan membuat kita sadar:

  1. Jalur Formal Demokrasi Buntu
    Mulai dari DPR sampai pemerintah, jalur resmi buat memperjuangkan hak rakyat sudah sangat kacau. Aspirasi kita dibenturkan dengan birokrasi lambat, jargon manis, dan komite-komite yang ujungnya nihil perubahan.
  2. Lembaga Negara Gagal Total
    Mereka yang seharusnya jaga rakyat, malah gak bisa memenuhi hak dasar---sekolah, kesehatan, dan pekerjaan layak. Padahal rakyat dipaksa bayar pajak, tapi balikannya cuma janji kosong dan fasilitas bobrok. 
  3. Pernyataan Pejabat yang Menyakitkan
    Ahmad Sahroni bilang rakyat yang protes itu “stupidest people in the world”. Gimana kita ga marah coba? Ini bukan kritik, ini hinaan!
  4. Nyawa Rakyat Semakin Murah
    Affan Kurniawan, driver ojol yang lagi kerja, tewas dilindas rantis Brimob. Sampai viral. Tapi respons aparat? Maaf secara officious---tapi bukan keadilan nyata. 

Apa yang Membuat Demonstrasi Ini Meletus

  1. Tunjangan Gila DPR vs Rakyat yang Terjepit
    Pengumuman tunjangan rumah Rp50 juta per bulan bikin gelombang kemarahan. Bayangin, hampir 10 kali lebih besar dari pendapatan rata-rata kita---sementara buruh, guru, ojol, dan masyarakat masih jutaan yang berada di bawah garis kemiskinan. 
  2. Kebijakan Ugal-Ugalan, Ekonomi Rawan & Pajak Meroket
    Austerity ala Prabowo bikin pemerintah pangkas anggaran pendidikan dan kesehatan. Rakyat dipaksa bayar pajak yang naik (bahkan ada yang sampai 1.000%), tanpa adanya transparansi atau kejelasan manfaat untuk publik.
  3. Kekerasan Aparat yang Berulang & Minim Akuntabilitas
    Demo terus menerus dibalas dengan gas air mata, water cannon, bahkan kendaran lapis baja. Kemarahan memuncak setelah Affan meninggal---polisi baru bilang minta maaf, sementara tujuh anggota ditahan. Tapi impunitas masih terasa tebal.
  4. Demonstrasi Merata & Mengerikan
    Protes gak cuma di Jakarta. Gedung DPRD dibakar di Makassar, Cirebon, Pekalongan, Bali. Ada yang tewas di Makassar, termasuk pegawai negeri---jawaban pemerintah tetap biasa.
  5. Formasi Masyarakat Sipil Tolak Represi
    Koalisi masyarakat sipil angkat bicara: "Hentikan represif skala besar dari polisi." Lagu demokrasi bukan soal satu atau dua yang demo, ini soal seluruh rakyat ngomong kebenaran.
  6. Suara Mahasiswa & Serikat
    Demo besar sejak 25 Agustus---serikat buruh, BEM SI, mahasiswa solid di DPR. Mereka gigih hingga Sabtu pagi, meski dibalas keras oleh aparat.

Ringkasan Kekecewaan dan Tuntutan Tegas

Rakyat bangkit bukan sekedar gerakan tiba tiba, tapi karena tak tahan ditindas terus-menerus.

  • #BubarkanDPR: karena DPR terbukti jauh dari rakyat---mereka yang seharusnya mewakili rakyat malah menyudutkan rakyat dan menindas rakyat.
  • #PolisiPembunuh: mereka seharusnya melindungi warga, bukan melukai bahkan membunuh. Kasus Affan harus dibayar dalam keadilan nyata, bukan sekedar ucapan maaf dan belasungkawa.
    Aksi represinya bikin trauma, bikin rakyat makin sadar: demokrasi diancam oleh tongkat dan peluru karet. Aku bilang, ini kekerasan negara yang dibungkus seragam
  • Presiden Prabowo: Presiden Prabowo bilang shock, minta tenang, suruh investigasi, tahan 7 anggota Brimob, minta maaf ke keluarga Affan. Tapi, rakyat sudah nggak percaya omong kosong yang cuma di TV doang. Wowo Gemoy seakan "merestui" kekerasan tersembunyi---dia juga terlalu lamban dalam menangani ini.  DPR sendiri minta polisi transparan, tapi siapa yang pegang palu akhir? Ya presiden dan jajaran atasnya dan kita tahu mereka cuma diam. 

Ini Jeritan Rakyat 

Sebagai anak muda yang menulis dengan emosi dan pikiran terbuka, aku ingin bilang: kita butuh pemerintahan yang benar-benar mewakili, bukan memeras, bukan aparatus yang melindas, dan bukan presiden yang hanya bicara setelah terlambat.

Semoga tulisan ini sampai ke hati teman-teman muda yang juga merasa resah. Mari jagakan terus semangat demokrasi, walau harus berjalan melewati gas air mata---karena di tengah malam yang gelap ini, selalu ada fajar yang menunggu.